Sebuah kisah terjadi di zaman Rasulullah saw. bisa menjadi
teladan dan pegangan bagi kita.
Sepasang suami istri Ummu Sulaim ( perawat di medan perang)
dan Abu Thalhah (pejuang yang gagah berani ), merasa gelisah sejak anak mereka,
Abu Umair sakit. Karena sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang sangat pedih,
Abu Umair meninggal dunia, ketika itu Abu Thalhah berada di medan perang. Ummu
Sulaim dengan sabar menerima kehendak Allah swt. dan mengurus kematian anaknya
dengan bijaksana dan penuh ketenangan.
Untuk sementara waktu , ia merahasiakan keadaan tersebut
kepada suaminya. Ia berdandan mengenakan pakaian terbaik dan memasak masakan
yang lezat untuk menyambut kedatangannya. Ketika Abu Thalhah pulang, ia
menanyakan anaknya, Ummu Sulaiman menjawab bahwa anaknya telah diam dan
istirahat.
Malam itu Abu Thalhah makan dengan nikmat dan ia tertidur
nyenyak. Keesokan harinya, setelah ia yakin suaminya telah beristirahat dengan
cukup, Ummu Sulaim berkata, “ Suamiku,
bagaimana pendapatmu jika ada orang
meminjam sesuatu pada temannya, dan ketika itu pemiliknya hendak mengambil
kembali barangnya, lalu apakah orang itu berhak marah ?” Abu Thalhah
menjawab, “Tidak boleh begitu, sesungguhnya barang pinjaman harus dikembalikan
pada pemiliknya.” Ummu Sulaim menyambung perkataannya, “Bukankah anak kita
adalah pinjaman belaka ? Dan Allah meminta agar kita mengembalikannya.” Abu
Thalhah menyadari maksud istrinya. Ia menerima ujian ini dengan tegar. Dengan
sabar dan penuh kepasrahan.
Keluarga di atas merupakan suatu bukti bahwa kecintaan kepasa
Allah swt. lebih besar daripada kecintaan kepada dunia, bahkan juga keluarga.
Balasan bagi mereka adalah surga. Puncak perjalanan seorang hamba adalah
pelabuhan penyerahan diri dari segala urusan hanya kepada-Nya.
Sasa Esa Agustina
Percikan Iman April
2004
0 komentar:
Posting Komentar